|
KOMPAS, Rabu, 13 September 2000
KABINET PARTISAN VERSUS KABINET PROFESIONAL
Oleh Kwik Kian Gie
DALAM konstitusi, kita menganut sistem presidensial. Intinya, Presiden punya hak prerogatif
untuk membentuk kabinetnya. Dalam pembentukan kabinet itu,
Presiden tidak perlu mempedulikan bagaimana peta dan perbandingan
kekuatan sosial politik yang mempunyai kursi di DPR. Praktik demikian berlaku selama Orde Baru
(Orba).
Mengapa? Apakah karena anggota DPR setia pada prinsip presidensial? Atau karena selama Orba,
Golkar selalu merupakan single majority di DPR, sehingga Presiden
Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar bisa semau-maunya? Ataukah
Presiden Soeharto saat itu menjadikan mutlak kekuasaannya, sehingga
apa pun yang dilakukan, tidak ada yang berani menentangnya? Lantas
timbul pertanyaan.
Meski menurut konstitusi hak prerogatif pembentukan kabinet ada di tangan presiden,apakah
dengan tidak adanya single majority yang mendukung presiden
sepenuhnya dan telah berdayanya DPR, presiden tidak mempedulikan
perbandingan kekuatan di DPR dalam pembentukan kabinetnya? Pak Harto saja merasa perlu memaksa
menteri-menterinya berkampanye untuk Golkar, supaya terlihat
partisan, padahal mereka jelas-jelas teknokrat nonpartai.
Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk kabinetnya yang pertama, ia amat memperhitungkan
peta kekuatan di DPR. Maka kabinet terdiri dari orang-orang
partaipolitik. Namun, seperti diketahui, kabinet langsung dikritik
dan dihujat para teknokrat individual yang bukan orang partai, bahkan karena orientasinya lebih
akademis, amat cenderung individualistis. Rasanya tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang sejarah, para teknokrat individual ini
mendominasi kabinet selama Presiden Soeharto berkuasa.
Post power syndrome orang-orang semacam ini, yang kebetulan selalu diliput media massa,
menjadikan selalu ingin duduk di kabinet. Dibangunlah opini publik,
bila orang partai politik menjadi menteri, pasti bodoh. Maka orang
partai dipertentangkan dengan orang profesional. Juga dikatakan, orang partai sebagai
menteri mesti korupnya, karena menteri yang bersangkutan ada di bawah tekanan untuk
korup guna mengisi kas partai. Kalau kita mau realistik, korupsi yang
membuat Indonesia negara terkorup di dunia bersama Nigeria dan
Kamerun, berlangsung dengan para teknokrat individual nonpartisan
yang mendominasi kabinet. Juga tidak sedikit teknokrat individual
nonpartisan sudah menjadi kaya, dan menyangkut orang-orang yang dari
penampilan dan tindak-tanduknya tidak disangka-sangka sama sekali.
***
KAMPANYE melawan kabinet Gus Dur pertama yang dinamakan kabinet gado-gado, kabinet dagang
sapi, kabinet garansi, berhasil. Maka dalam pembentukan kabinet
kedua, yang oleh masyarakat dinamakan Kabinet Gus Dur, kebanyakan
adalah para profesional individual yang nonpartisan. Memang ada reaksi dari
kalangan orang partai di DPR yang mengatakan, menteri sebaiknya,
bahkan seharusnya, orang partai politik yang mempunyai fraksi di DPR.
Tetapi suara-suara seperti ini kandas oleh suara para profesional
individual nonpartisan, karena mendapat tempat sebagai "pengamat"
yang "ilmiah" dan "obyektif".
Jadi dalam belajar berdemokrasi, langsung terjadi silang pendapat, apakah kabinet
seharusnya terdiri dari orang partai yang mempunyai fraksi di DPR,
atau profesional nonpartisan? Mari kita tengok praktik di negara yang
demokrasinya punya tradisi panjang.
Pertama-tama di AS yang juga punya sistem presidensial. Rasanya amat jelas, kabinet selalu
mendapat dukungan legislatif. Sebabnya hanya ada dua partai, Partai
Republik dan Partai Demokrat. Bila salah satu menang, dengan
sendirinya menjadi mayoritas di legislatif. Alhasil, prinsip
presidensial dapat diterapkan, karena faktor kebetulan, yaitu hanya
ada dua partai.
Bagaimana di Eropa? Gambarannya lebih beragam. Di Inggris, juga praktis hanya ada dua
partai, Partai Konservatif (Torry) dan Partai Buruh. Pembentukan
kabinet di Inggris seperti di AS, meski konstitusinya tidak menganut
sistem presidensial. Lagi-lagi yang krusial adalah basis dukungan legislatif. Bila kita melongok ke
Eropa kontinental, di sana menganut sistem kabinet parlementer,
karena struktur politiknya multipartai dengan amat jarang ada single
majority di parlemen. Meski multipartai dan tanpa single majority, di
sana amat banyak contoh, kabinet atau perdana menteri bertahan lebih
dari 10 tahun, karena berhasil membentuk koalisi dengan basis
dukungan kuat di parlemen.
Dari contoh-contoh itu diperoleh gambaran, konstitusi boleh mengatakan sistem presidensial.
Namun, bila kondisi lapangan tidak memungkinkan, atau tidak adasingle
majority, mau tidak mau, suka atau tidak, yang berlaku adalah
struktur dan mekanisme parlementer. Maka naluri Gus Dur ketika
membentuk kabinet yang dinamakan Kabinet Persatuan Nasional sudah
ditinjau dari sudut pembentukan koalisi dengan basis dukungan yang
kuat di DPR. Mungkin yang kurang adalah penelitian tentang kompetensi
dari menteri-menteri yang diajukan oleh partai-partai politik yang
diajak berkoalisi. Yang kurang lagi adalah pembentukan perekat dalam
bentuk kebijakan dasar atau platform yang disepakati bersama, setelah
itu melakukan sosialisasi yang baik. Ini makan waktu. Maka di negara-negara yang
sudah mantap demokrasinya, pembentukan kabinet makan waktu
berminggu-minggu. Selama itusebagai kabinet demisioner tetap bekerja,
sehingga tidak ada masalah dalam jalannya roda pemerintahan.
***
BANYAK juga didengungkan, menteri harus menguasai bidangnya secara ilmiah danteknokratik. Yang
aneh, tidak ada yang mencela, Frans Seda pernah menjadi Menteri
Perkebunan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Keuangan. Juga Radius
Prawiro pernah menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank
Sentral, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, dan akhirnya Menko
Ekuin. Sarwono Kusumaatmadja adalah orang yang dibesarkan oleh partai
politik, seorang insinyur, tetapi pernah menjadi Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri LingkunganHidup, dan kini
Menteri Eksplorasi Kelautan dan Perikanan. Apakah semua orang ini
punya kemampuan teknokratik yang didasarkan atas studi ilmiah di
bidang yang demikian beragam? Saya yakin mereka sendiri tidak berani
mengklaim itu.
Bila kita melongok ke luar negeri yang demokrasinya sudah mantap, gambaran seperti ini lebih
biasa. Terlampau banyak disebutkan satu per satu. Cukup menyebut satu
contoh, yaitu Mac Namara yang langsung dari jabatan Direktur Utama
Ford menjadi Menteri Pertahanan, dan dinilai sangat berhasil. Kabinet sekarang
juga mempunyai Menteri Pertahanan yang ahli hukum pertanahan.
Kata-kata "pertahanan" dan "pertanahan" kedengarannya hampir sama.
Pertanyaan yang lebih mendasari segalanya adalah apakah partai politik hanya berhak
mempunyai wakil dalam legislatif, ataukah seyogianya eksekutif juga
diisi wakil-wakil dari partai politik? Di sini ada dua pendapat. Yang
pertama mengatakan, tidak boleh dengan segala alasannya, telah saya kemukakan.
Yang kedua, argumentasi dari pendapat yang mengatakan bukan saja boleh tetapi seyogianya,
menteri-menteri harus kader partai politik. Kalaupun tidak ada yang
cocok menjadi menteri untuk portepel yang menjadi porsinya, partai
yang berhak mengajukan calon yang non-partisan. Mengapa?
Alasan pertama, partai politik adalah organisasi sebagai wadah kaderisasiorang-orang yang
sudah memilih kehidupannya untuk ikut serta dalam penyelenggaraan
negara. Penyelenggaraan negara mencakup semua aspek, tidakhanya
dibatasi pada legislatif saja. Karena seluruh kehidupannya yang penuh
dengan semua hal penyelenggaraan negara, dengan sendirinya merekalah
yang mengerti apa aspirasi dari rakyat yang menjadi konstituennya.
Dengan kata lain,mereka adalah orang-orang yang mempunyai ideologi.
Kalau ideologinya dengan alasan apa pun dirasa tidak bisa diperjuangkan lagi, karena kalah
suara, dia memilih meninggalkan kursinya di kabinet dan kembali ke legislatif. Maka
kita saksikan jatuh bangunnya kabinet di negara-negara yang
demokrasinya sudah mantap. Tetapidengan konstelasi politik yang
demikian, kita mengenal banyak perdana menteri yang bertahan sampai
lebih 10 tahun. Mengapa? Lagi-lagi, karena konstelasi kabinetnya
mendapat dukungan yang komfortabel dari parlemen, dan yang dinamakan
kompak diikat platform atau garis-garis kebijakan dasar yang sama.
Demikian argumentasi pendapat yang pro-orang-orang partai di dalam kabinet.Lantas di mana
tempat teknokrat individual yang nonpartisan? Di negara-negara yang
demokrasinya sudah mantap, tempat mereka adalah sebagai "mesin"
pemerintahan yang netral. Burreaucratic machinery ini harus konstan. Bila eselon
I dan eselon II dibongkar pasang setiap menterinya baru, akan
rusaklah birokrasinya, dan menterinya akan kelimpungan.
* Kwik Kian Gie
Menko Ekuin Oktober 1999-Agustus 2000.
-----------------------
Kompas, Rabu, 13 September 2000
Menilai Kabinet Abdurrahman Wahid Jilid Kedua
Oleh Arief Budiman
KETIMBANG pemerintahan Soeharto, keadaan politik di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) jauh lebih kompleks. Di zaman Soeharto dulu, ada
lelucon menarik. Pada waktu itu, orang Indonesia katanya punya tiga
sifat dasar: pandai, jujur, dan propemerintah. Tetapi, setiap orang
hanya bisa memiliki dua dari ketiga sifat ini. Kalau dia pandai dan
propemerintah, artinya tidak jujur. Kalau dia jujurdan propemerintah,
dia tidak pandai. Kalau dia pandai dan jujur, dia tidak mungkin propemerintah.
Di zaman Gus Dur tampaknya lelucon ini tidak berlaku. Orang Indonesia kini bisa memiliki ketiga
sifat itu sekaligus. Orang bisa pandai, jujur, dan propemerintah.
Atau,pandai, jujur dan antipemerintah. Tentu saja kombinasi-kombinasi
lama masih berlaku: orang pandai yang antipemerintah tetapi tidak
jujur, atau orang jujur yang propemerintah tetapi tidak pandai.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena pemerintahan Gus Dur, ketimbang
pemerintahan Soeharto, punya lebih banyak warna-warni. Gus Dur punya
pandangan yang baik tentang demokrasi dan kehidupan masyarakat yang
pluralistis, tetapi manajemennya amburadul, nepotismenya tinggi dan
ceplas-ceplosnya yang tidak bisa ditahan, selalu mengguncangkan
pasar. Kabinet Gus Dur (yang pertama)terdiri orang-orang pandai,
tetapi karena kabinet ini hasil kompromi politik, maka kerja samanya
semrawut. Dalam keadaan seperti ini, orang dibuat sukar untuk bisa
benar-benar mendukung Gus Dur. Sebaliknya, orang sukar bisa benar-benar menentang Gus Dur.
Kalau menurut ahli-ahli silat Cina, Gus Dur sedang menggunakan jurus "dewa mabuk." Yang
dikhawatirkan orang, jangan-jangan Gus Dur bukan sedang
menjalankan jurus persilatan, tetapi benar-benar sedang mabuk.
Karena itulah, seperti kata Cak Nur kepada Tempo Interaktif, Gus Dur harus diteriaki terus.
Dua titik lemah Gus Dur baru membentuk kabinetnya yang kedua. Seperti biasa ini juga membingungkan.
Indonesia kini menghadapi dua persoalan yang saling berkaitan: krisis ekonomi dan krisis
politik. Krisis ekonomi Indonesia sukar diatasi tanpa keadaan politik
membaik sampai pada tingkat yang bisa diterima investor. Sebaliknya
krisis politik sangat tergantung pada perbaikan keadaan ekonomi.
Yang membingungkan adalah karena di kedua bidang ini ditunjuk dua orang yang dianggap lemah
untuk memimpin dua kementerian yang strategis. Yang pertama
Priyadi Praptosoehardjo, Menteri Keuangan yang baru, kawan dekat Gus
Dur yang tidak lulus fit and proper test dari Bank Indonesia ketika
mau diangkat jadi Direktur Utama BRI.
Nama kedua adalah Prof Mahfud MD sebagai Menteri Pertahanan. Guru besar Universitas Islam
Indonesia di Yogyakarta ini adalah ahli hukum yang tidak punya
pengalaman bekerja di lembaga militer. Padahal kita tahu, militer
kita masih merupakan raksasa yang harus dijinakkan. Dapatkah seorang
profesor yang seumur hidupnya bergumul di kampus, masuk ke "sarang
macan" dan menjinakkan sang raksasa?
Dalam kondisi politik kita kini, suka atau tidak suka, peran militer masih sangat kuat. Masalah
di Aceh, di Maluku, di Irian Jaya, dan di Timor Barat sulit
dibayangkan akan bisa selesai tanpa ada militer yang kompak, yang
bisa dikendalikan dengan baik oleh pemerintah. Kita juga melihat,
politik pasca-Orde Baru lebih merupakan politik yang
menggunakan otot ketimbang otak. Pertikaian politik kini makin ruwet
dicampuri agama, dilengkapi senjata tajam dan senjata api. Sulit
dibayangkan, dalam bentuknya yang seperti ini, militer tidak diajak
serta, paling sedikit pada tahap awalnya untuk menghindarkan makin
bayaknya jatuh korban jiwa. Apakah Mahfud sebagai insan kampus bisa
menyelesaikan tugas seperti ini?
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tidak ada orang lain yang lebih baik untuk mengisi dua
posisi strategis ini?
***
NAMUN, bersamaan dengan itu, Gus Dur menunjuk dua orang kuat di kabinetnya yang baru ini.
Setelah menyerahkan tugas "ibu rumah-tangga kabinet" kepada
Megawati Soekarnoputri, Gus Dur menampilkan dua orang kuat: Rizal
Ramli untuk bidang ekonomi dan Letnan Jenderal Susilo Bambang
Yudhoyono untuk urusan politik, sosial, dan keamanan.
Dengan adanya Menko Polsoskam yang dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, kita mungkin bisa
lebih mengerti pertimbangan Gus Dur. Kata orang, mungkin Yudhoyono
yang akan memegang kendali, sedangkan Mahfud hanya akan bergumul
dengan masalah-masalah birokrasi dan administrasi. Mungkin Gus Dur
sudah memperhitungkan ini. Sebaiknya dalam kabinet yang mengurusi
militer, hanya ada satu primadona, supaya kekompakannya terjaga.
Bukankah kabinet yang pertama dikritik karena tidak kompak?
Bila dugaan ini benar, harapan pulihnya perdamaian di daerah-daerah yang bergolak terletak
di pundak Yudhoyono. Persoalannya, apakah Yudhoyono bisa mengendalikan militer di lapangan?
Melihat kariernya, Yudhoyono tampaknya punya sejumlah pengalaman mengesankan. Pertama,
dikenal sebagai jenderal yang intelektual. Selain itu, dia
punya seabrek pengalaman lapangan sebagai Komandan Kodam dan Kastaf Teritorial TNI.
Semua ini membuat kita mungkin bisa lebih berharap kepadanya. Mungkin kita belumbisa
optimis, bila melihat besarnya permasalahan di kalangan militer:
pembunuhan yang terus terjadi di Aceh, penculikan mahasiswa yang
baru-baru ini terjadi di Jakarta, masalah Ambon yang belum selesai
meski sudah mereda, terakhir terbunuhnya tiga orang PBB yang bekerja di Atambua, Timor Barat.
Semua ini menunjukkan, Jakarta belum bisa mengendalikan tingkah-laku personel militer di daerah.
Dapatkah Yudhoyono menyelesaikan masalah ini?
Bagaimana keadaan ekonomi? Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomian yang baru dipasang Gus Dur
sebagai sang pendekar di front ini. Dia dikenal sebagi orang yang
kritis terhadap IMF dan Bank Dunia. Bisakah dia bekerja sama dengan
kedua lembaga yang berperan amat besar terhadap kemungkinan pulihnya
ekonomi dalam jangka pendek? Rizal juga bukan orang dari kelompok
mainstream ekonomi UI yangsudah menguasai dunia perekonomian kita
selama 30 tahun lebih. Bila pandangan Rizal berbeda, ini berarti dia
harus sedikit banyak melawan arus, karena bagaimanapun
pandangan-pandangan mainstream sudah sangat melembaga di kalangan
lembaga-lembaga Ekuin pemerintah.
Berbeda dengan Yudhoyono yang tidak saya kenal secara pribadi, saya mengenal Rizal saat masih
mahasiswa. Suatu hari pada tahun 1978, dia datang dan menginap
di rumah saya di Princeton, AS. Kalau tidak salah dia adalah salah
seorang tokoh mahasiswa yang diundang Pemerintah AS dalam sebuah
program, World Young Leaders Program (Adik saya, Soe Hok-gie, juga
pernah mendapat undangan ke ASdi bawah program ini). Rizal adalah
salah seorang pimpinan gerakan mahasiswa ITB bernama Gerakan
Anti-Kebodohan. Yang diprotes adalah pemerintahan Soeharto yang
menurut mereka telah memperbodoh rakyat.
Kemudian terdengar kabar, teman-teman Rizal yang memimpin Gerakan Anti-Kebodohan ditangkapi
militer Indonesia di Bandung. Saya ingat Rizal mengatakan, dia akan
mempersingkat kunjungannya dan cepat-cepat pulang ke Indonesia.
Kalau pulang, nanti kamu ditangkap," kata saya. Dia menjawab dia
siap untuk itu. Dia merasa tidak enak ketika dia sedang "jalan-jalan"
di AS, teman-temannya ditahan di Indonesia. Saya berusaha membujuk
untuk tetap tinggal di AS, kalau perlu mencari beasiswa untuk studi
daripada pulang ke Indonesia masuk penjara. "Perjuangan masih panjang dan
Anda masih diperlukan di masa depan," kata saya. Tetapi, dia tetap keras kepala. Ketika itu saya
pikir dia bodoh, tetapi diam-diam saya mengagumi sikap solidaritasnya yang tinggi.
Lalu saya mendengar Rizal benar-benar pulang dan dipenjara. Beberapa tahun kemudian saya dengar
dia belajar di Universitas Boston dan meraih PhD di bidang
ekonomi. Kembali ke Indonesia dan mendirikan lembaga penelitian dan
konsultan dengan nama Econit.
***
SAYA mendapatkan beberapa laporan tentang situasi ekonomi Indonesia yangditerbitkan Econit, dan
harus diakui saya dibuat kagum. Bagi seorang yang bukan ahli ekonomi
seperti saya, analisis ekonomi yang diberikan Econit jelas, disertai data-data
yang ditelitinya sendiri di lapangan, tidak hanya mengandalkan
data-data dari Badan Pusat Statistik saja. Sampai sekarang saya masih
menyimpan beberapa laporan Econit tentang masalah pertambangan, mobil
nasional, pupuk tablet, masalah investasi pesawat N-2130. Ketika
bertemu dia tahun 1990-an, saya nyatakan penghargaan saya kepadanya.
Kekaguman saya bertambah ketika mengetahui, dalam Econit bergabung
juga ekonom-ekonom seperti Laksamana Sukardi dan Arif Aryman. Econit bisa diharapkan
menjadi lembaga yang menyiapkan kebijakan ekonomi pasca-Soeharto, begitu harapan saya.
Dia juga sering diundang NGO Indonesia untuk memberi analisis ekonominya, antara lain oleh
Infid (Indonesian NGO Forum for Indonesian Development). Biasanya
presentasinya kritis, menarik disertai data-data. Saya kira dalam
forum-forum dengan NGO ini dia bertemu Gus Dur, dan sang kiai tampaknya terkesan
penampilannya.
Singkat kata, Rizal adalah seorang yang punya pengetahuan ekonomi, cukup kritis, punya
latar-belakang sebagai aktivis, punya kemampuan untuk mengorganisir
sebuah lembaga. Ini merupakan bekal yang cukup baginya berprestasi sebagai Menko Ekuin.
Namun, saya juga mendengar hal-hal negatif tentang dia. Katanya, setelah kritiknya yang bagus
terhadap masalah pertambangan di Indonesia, dia lalu dekat dengan
Departemen Pertambangan. Dia juga dikhabarkan dekat dengan militer
(Jenderal Wiranto) dan konglomerat seperti Marimutu Shinivasan,
pemilik perusahaan raksasaTexmaco yang bermasalah itu. Rizal bahkan
sempat mengeluarkan pernyataan publik membela Texmaco. Maka, orang
lalu mulai meragukan independensinya.
Saya juga menjadi khawatir dengan perkembangan ini. Ada banyak teman yang menyatakan sudah capek
menjadi aktivis. Mereka lalu menjadi "pragmatis" dan
"realistis" dan bekerja sama dengan para pejabat tinggi pemerintah
Soeharto serta para konglomerat. Pada saat itu, tampaknya sukar
membayangkan Soeharto bisa terguling. Karena itu, banyak teman saya
berpikir, mau jadi aktivis sampai tua? Apakah Rizal juga salah satu di antaranya?
Melihat semua ini, kita kembali bertanya, dapatkan Rizal diharapkan sebagai penyelamat?
Melihat apa yang dimiliki, Rizal punya kemampuan untuk berhasil. Dia punya pengetahuan dan
pengertian kritis tentang perekonomian Indonesia, dia bisa
bersikap kritis terhadap IMF dan Bank Dunia, dia punya kesanggupan
bekerja secara kelembagaan, dia bisa menyatakan ide-idenya secara
tajam dan jelas, dia dipercaya Gus Dur. Bahkan kenyataan, dia pernah
"dekat" dengan pejabat tinggi pemerintah dan konglomerat, menunjukkan
dia cukup tahu seluk-beluk cara "bermain" dilembaga-lembaga itu.
Maka, masalahnya adalah apakah Rizal, dalam kesempatan emas ini, mau mencatatkan namanya
dalam sejarah sebagai pendekar bangsa, atau dia "sudah capek jadi
aktivis" dan lebih senang menjadi "pragmatis yang realistis?" Pada
titik ini Rizal ada dalam posisi seperti Hamlet ketika berkata, To be
or not to be, that is the question.
Kabinet Gur Dur jilid kedua ini memang masih membingungkan, tetapi mungkin bukantanpa harapan.
Memang, kiranya kita harus menunggu beberapa bulan untuk bisa menilainya secara lebih baik.
* Arief Budiman, Professor
of Indonesian, MIALS, University of Melbourne, Australia
-----------------------------------
Kompas, Rabu, 13 September 2000
Kabinet Abdurrahman Wahid Versus Realitas Pragmatis
* Politik Pasca-"reshuffle" Kabinet
Oleh : M Alfan Alfian M
BEBERAPA kalangan menjuluki kabinet baru Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hasil reshuffle
pasca-Sidang Tahunan MPR sebagai All the Wahid's Men. Ini dikarenakan
susunan personalia Kabinet Gus Dur Jilid II itu nyaris didominasi
"orang-orangnya Presiden Wahid alias Gus Dur". Tiga orang "pengawal"
(the threemusketeer) perbaikan ekonomi-politik Gus Dur, masing-masing
Menko Perekonomian Rizal Ramli, Menko Polsoskam Susilo Bambang
Yudhoyono, dan Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, masing-masing
dikenal sebagai loyalis Gus Dur. Muka-muka lama yang masih
mendominasi juga diapresiasi banyak kalangan sebagai loyalis GusDur.
Karenanya sebutan All the Wahid's Men bagi kabinet reshuffle kali ini
terkesan tidak terlampau mengada-ada.
Presiden Wahid agaknya memakai hak prerogatifnya secara optimal dalam penyusunan kabinet
kali ini. Bahkan saking optimalnya hak istimewa itu digunakan,
peran Wakil Presiden (Wakil) Megawati Soekarnoputri menjadi
marginal. Padahal, posisi Wapres sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden tentang pelimpahanwewenang tidak semarginal dulu. Wacana
pelimpahan wewenang sendiri berkembang dalam ST MPR lalu. Bahkan
sempat muncul perkembangan dalam arena ST MPR agar soal pelimpahan
wewenang, diatur lewat ketetapan (Tap) MPR, meski akhirnya tak
terlaksana. Yang jelas, banyak kalangan menghendaki agar Presiden
Wahidberbagi kekuasaan (wewenang atau tugas) secara jelas dengan
Wapres. Presiden Wahid sendiri menjanjikan perluasan wewenang itu,
dan Keppres-nya sudah keluar.Tetapi, yang menjadi catatan, ternyata
dominasi Gus Dur masih terlampau menonjol dalam penyusunan personalia kabinet.
Sebutlah itu fenomena pertama kabinet Gus Dur kali ini. Fenomena kedua, hal-hal yang secara
psikologis menjelma menjadi respons masyarakat dan pasar terhadap
kabinet reshuffle itu. Reaksi awal publik dan pasar terhadap kabinet
Gus Dur kali ini, tidak begitu bagus. Dengan kata lain, publik dan pasar diliputi
semacam skeptisme atas kemampuan kinerja kabinet Gus Dur, terutama melihat reputasi
dan integritas beberapa personel di dalamnya-yang dinilai "bermasalah". Kalangan
publik dan pasar menilai start awal yang dilakukan Gus Dur ini mencemaskan dan amat
spekulatif.
Secara politis, Kabinet Gus Dur kali ini, tampak kian pudar warna kepelangiannya. Beberapa
personel yang kebetulan berasal dari partai politik memang masih ada,
tetapi tidak "semeriah" sebelumnya. Nyaris tidak ada lagi jaminan
yang diberikan kepada personel-personel kabinet yang ada, kecuali jaminan langsung
Gus Dur. Hal ini mengakibatkan, peluang partai politik untuk secara tegas
memfungsikan dirinya sebagai "oposisi" semakin besar. Melihat fenomena ini, agaknya
partai-partai politik mulai tidak lagi khawatir apakah kadernya dipakai atau tidak. Mereka
juga tidak khawatir bila suatu saat menteri dari partainya "dipecat". Dalam konteks
ini, sesungguhnya ada fenomena politik yang memberikan ruang cukup signifikan
bagi kalangan partai politik untuk gencar melakukan fungsi oposisinya secara optimal.
Konsekuensinya, langkah-langkah politik Kabinet Gus Dur akan selalu kritis dipantau
partai-partai politik yang ada, dan kalangan politisi di DPR makin
besar peluangnya untuk "memlonco" pemerintahan Gus Dur dengan memakai
hak interpelasi dan hak angket. Politik pascakabinet reshuffle akan ditandai keseimbangan
politik baru, dimana dinamika yang ada akan makin menggelinding tajam. Kabinet Gus
Dur bersifat presidensial, namun bukan berarti kalangan parlemen (DPR) bisa lepas
sama sekali dalam mengoreksi pelbagai kebijakan yang ada.
Kabinet ini miskin teknokrat, sementara peran politisi dan tentara tampak signifikan.
Ini menandaskan, agaknya Gus Dur mementingkan kemampuan konsepsional
paramenterinya-yang kebanyakan bukan teknokrat-ketimbang persoalan
teknis operasional-yang bisa dilakukan pejabat setingkat dirjen.
Karena itu sulit mengatakan, kabinet ini telah berorientasi pada pragmatisisme.
Dengan kata lain, Gus Dur lebih mementingkan aspek idealisme-konsepsional ketimbang
realitas-pragmatisme. Fenomena ini bukan tanpa risiko. Setidaknya ada
dua risiko utama dari pilihan kebijakan yang jauh dari realitas pragmatis.
Pertama, pemulihan multikrisis, terutama pemulihan ekonomi akan
tertunda-tunda,disebabkan antara lain oleh resistensi psikologis
publik dan pasar. Kebijakan yang tidak bersahabat dengan pasar, akan memperoleh perlawanan setimpal
dari pasar-dalam berbagai bentuknya. Kebijakan yang populis tepat
dilakukan, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa popularitas yang
ada tidak dipaksakan untukmenguntungkan secara politis kekuatan
politik tertentu, termasuk kekuatan politik negara dan pemerintah.
Ini perlu diketengahkan sebab, agaknya masyarakat kian kritis
terhadap pelbagai kebijakan pemerintah, yang populis sekalipun.
Kedua, kebijakan yang mengabaikan dimensi realitas pragmatis, akan tertahan di dataran
konsep (politik) semu. Artinya, kebijakan itu tidak bisa efektif dan
efisien diterapkan di masyarakat, guna mempercepat pemulihan krisis,
justru karena kesalahan konsepsional sejak awal-karena tidak rasional dan
obyektif. Kebijakan yang jauh dari realitas-pragmatis, biasanya merupakan kebijakan ambisius
dan mengorbankan kepentingan-kepentingan yang seharusnya diutamakan.
Dengan kata lain pengabaian ini akan berakibat fatal, sebab sense of
priority tidak dipakai, kecualisense of Gus Dur talking about.
Orientasi "demi kehendak Gus Dur" dan demi kepuasan publik dan
pasar, suatu saat bisa muncul. Dan bila realitas pragmatis diabaikan,
maka kecenderungan "demi kehendak Gus Dur" akan dominan.
***
DALAM kondisi transisi politik seperti saat ini, stabilitas politik merupakan "barang
mewah". Tidak diketahui pasti apa maksud Gus Dur mendudukkan kalangan
tentara di kabinetnya dalam posisi-posisi strategis. Apakah karena
mereka telah memiliki tradisi disiplin dan jaringan kokoh hingga ke bawah, atau demi
percepatan stabilitas politik? Agaknya dua hal itu dijadikan pertimbangan. Tetapi, yang
lebih penting lagi, agaknya, demi menjaga hubungan antara Gus Dur dengan kalangan tentara.
Sebagaimana diketahui, era transisi politik ini menyertakan perubahan besar di kalangan tentara.
Karena itu, Gus Dur dalam banyak hal masih memakai kalangan tentara
untuk membantunya di level sipil.
Melihat kritisnya sikap publik dan pasar, maka seharusnya Kabinet Gus Dur termotivasi untuk
menunjukkan kinerja dan kemampuan konsepsional dan teknis
operasionalnyasecara baik dan benar, efektif dan efisien-dalam
konteks recovery multikrisis yang tengah terjadi. Mereka kini diberi kesempatan menunjukkan
kinerjanya. Pasar dan publik menunggu hasil capaian kinerjanya dengan sungguh-sungguh.
Barangkali orientasi realitas pragmatis akan membantu citra anggota
kabinet di depan publik dan pasar-bukan di depan Gus Dur-akan
membaik, dan karenanya memperoleh dukungan luas. Sebaliknya, bila
merasa tidak mampu, cepat-cepatlah mengundurkan diri secara arif dan
bijaksana, agar tidak menjadi bulan-bulanan publik dan pasar.
* M Alfan Alfian M,
mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Wakil Direktur Yayasan Katalis, Alumnus ACYPL (American Council of Young Political Leaders).
Back
Forward
|