|
Refleksi orang bingung
Budak Zaman Raja-raja
Pada zaman raja-raja budak adalah manusia yang tidak diperlakukan sebagai
manusia. Budak-budak adalah makhluk hidup yang hak hidupnya pun ditentukan
sepenuhnya oleh tuannya. Harkat manusia dari budak hanya ada dalam
komunitas budak itu sendiri. Di luar ko munitas itu maka hidup dan matinya
budak ditentukan oleh tuan budak, entah itu tuan tanah, bangsawan atau
raja. Budak tidak memiliki hak, yang asasi sekalipun. Yang mereka miliki
hanyalah kewajiban, kewajiban untuk patuh pada tuannya, untuk menuruti
kehen dak tuannya, untuk melindungi tuannya. Patuh tanpa reserve. Nyawa
pun wajib dikorbankan, demi tuannya. Misalnya, menurut hikayat dari zaman
raja-raja Sumba, budak-budak yang setia dan berkenan di hati papa raja
akan ikut dikuburkan bila papa rajanya wafat dan dimakamkan.
Kesetiaan adalah nilai moral yang sangat mulia. Artinya kesetiaan pada
hal-hal dan perbuatan-perbuatan yang baik, kesetiaan pada nilai-nilai yang
wajar menurut norma-norma moral dan hukum masyarakat beradab.
Di era Bung Karno seluruh rakyat Indonesia menyatakan setia pada
perjuangan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi tanpa reserve. Artinya
rakyat dengan sadar menyatakan setia dan mendukung Pemimpin Besar
Revolusinya dalam kebijakan-kebijakan (politik) untuk menuntaskan revolusi
yang akan mengantar bangsa Indonesia menuju zaman adil makmur sejahtera
dan sentosa. Kesetiaan rakyat pada pemimpinnya itu adalah demi memimpin
bangsa menuju cita-cita revolusi yaitu masyarakat demokratis yang penuh
keadilan, kemakmu ran, kesejahteraan dan kesentosaan SELURUH rakyat
Indonesia.
Sekarang kita berada di era transisi menuju reformasi untuk mengembalikan
bangsa ini pada rel perjuangan menggapai cita-cita revolusi 1945 yaitu
masyarakat adil makmur yang sejahtera dan sentosa. Di era ini Presiden RI
yang diangkat oleh MPR secara konsti tusional adalah KH. Abdurrahman "Gus
Dur" Wahid. Salah satu tugas pokok Pemerintahan era transisi di bawah
Presiden Gus Dur, menurut hemat kita, adalah menyembuhkan luka sejarah
yang sangat parah yang diciptakan oleh rezim otoriter Orde Baru Suharto
yang menguasai negeri ini selama 32 tahun. Luka sejarah itu boroknya
merasuk ke segala sendi kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan
moral dan keimanan. Borok pada sendi-sendi moral dan keimanan inilah yang
paling merusak nurani dan rasa keadilan se rta peri kemanusiaan kita.
Sulit dan beratnya pengobatan luka-luka dan borok politik dan ekonomi,
menurut hemat kita, adalah disebabkan oleh parahnya kebobrokan pada
sendi-sendi moral dan keimanan bangsa, terutama moralitas dan keimanan
sebagian masyarakat yang ditokohkan dan diharapkan menjadi pautan.
Mirip dengan tingkah laku penguasa rezim otoriter orde baru yang
melanggengkan budaya kekuasaan zaman raja-raja, kelompok-kelompok atau
orang-orang yang ditokohkan atau yang menokohkan diri dan diharapkan
menjadi panutan di era transisi menuju reformasi i ni pun melakukan hal
yang sama. Qua zaman, budaya demikian itu (budaya pembudakan) sudah tidak
cocok lagi, sudah out of date. Zamannya sudah lain sama sekali. Roh zaman
sudah berubah. Akan tetapi karena mentalitas budak itu menguntungkan
orang-orang yang bermental zaman raja-raja maka hal itu mereka pertahankan
by all means. Pembudakan dengan uang sebagai alatnya ternyata jitu dan
ampuh. Kok bisa? ya bisa saja. Karena kebobrokan mental spiritual dan
ekonomi maka budaya pembudakan demi kekuasaan dan kekuat an politik masih
bisa dipraktekkan di zaman yang sudah berubah ini, antara lain melalui
sarana uang, uang palsu sekalipun. Kita tidak perlu bertanya mengenai
penarikan dari peredaran uang-uang seri Rp 500.000,- gambar Suharto, Rp
20.000,- dan Rp 10.000,- belum lama ini.
Hari-hari ini bukan saja rakyat Indonesia melainkan juga masyarakat dunia
mengikuti dengan penuh perhatian proses hukum yang sedang berlangsung atas
mantan diktator Suharto dan keluarga serta kroninya. Bob Hasan,
konglomerat paling dipercaya Suharto, Maya Ari Sigit, istri cucu Suharto,
Hutomo"Tomy" Suharto, putra kesayangan sang diktator dan Suharto sendiri.
Penyimpangan hukum dan penipuan-penipuan prosedur pemeriksaan sebenarnya
hanya mempermalukan bangsa ini. Namun kenyataannya hampir seluruh sistem,
mekanisme dan personalia hukum saat ini adalah sistem, mekanisme dan
personalia Orde Baru. Inilah salah satu sebab utama dari kelambanan proses
hukum terhadap Suharto dan keluarga serta kroninya. Belum lagi pembudakan
dengan uang yang cukup kasat mata, anta ra lain melalui pengerahan massa
bayaran, terutama preman, untuk mendukung dan melindungi Suharto. Bahkan
ada yang secara terbuka menyatakan siap atau rela mati demi Suharto. Dan
ada lagi kaum "intelek" yang kesorean mengenal istilah-istilah "hak asasi
manusia" dan "rasa kemanusiaan". Kaum "intelek" ini nampaknya dengan
sadar menempatkan diri mereka sebagai budak pembodohan rezim diktator
Suharto. Atau juga menjadi budak uang haram?
Budak memang memiliki cuma kewajiban untuk patuh, tunduk dan melindungi
tuannya.
Jakarta, 3 Oktober 2000
Gustaf Dupe
Koordinator KAP T/N
|