Pengantar diskusi publik
Rehabilitasi – Langkah Penting Bagi Rekonsiliasi
Kita baru saja memperingati 55 tahun Proklamasi 17 Agustus.
Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia itu adalah
kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia, yaitu kemerdekaan untuk hidup merdeka, kemerdekaan
untuk berpikir, berideologi, beragama, berkumpul dan berserikat, berpendapat dan mengeluarkan pendapat
termasuk kemerdekaan untuk berbeda pendapat. Kemerdekaan-kemerdekaan ini telah dibelenggu oleh rezim
Orde Baru Suharto selama lebih dari tiga dasawarsa demi untuk melestarikan kekuasaan sang diktator itu.
Tumbangnya rezim Orde Baru Suharto tanggal 21 Mei 1998 seharusnya membawa perubahan
total, memulihkan hak-hak kemerdekaan tersebut di atas. Inilah tuntutan reformasi total itu.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa perkembangan situasi akhir-akhir ini menunjukkan arah yang
justeru makin memprihatinkan. Cita-cita reformasi terasa makin menjauh. Justeru kerusuhan dan
premanisme yang makin marak. Bahkan di dalam masyarakat sekarang dihembuskan opini bahwa
keadaan di bawah pemerintahan Suharto jauh lebih baik dari sekarang. Para politisi lebih banyak
menonjolkan kepentingan kelompok/golongan/parpolnya sendiri ketimbang kepentingan seluruh rakyat.
Hal ini sangat transparan pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus yang lalu.
Sidang Tahunan MPR 2000 dan produk-produk yang dihasilkannya mendemonstrasikan
betapa lemahnya kekuatan reformasi di DPR/MPR dan betapa masih kuatnya kekuatan
Orde Baru yang bertopeng reformasi di lembaga tinggi/tertinggi Negara itu.
Demokratisasi dan hak asasi manusia ramai dibicarakan, tetapi hakekat dan substansinya
sendiri kurang mendapat perhatian yang patut. Bahkan pemahamannya menjadi demikian rancu sehingga ST
MPR menerbitkan TAP yang rancu seperti TAP No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri maupun
Amandemen UUD 1945 (khususnya pasal 28 i). Perpanjangan fungsi TNI dan Polri dalam keanggotaan
DPR/MPR hingga tahun 2009 adalah penghianatan terhadap Gerakan Reformasi. Dan Amandemen UUD pasal
28 i ayat 1 adalah pemberian perlindungan konstitusional (impunity) bagi para pelaku pelanggaran hak
asasi manusia dan pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat dominan di era kekuasaan
Suharto.
KAP T/N berpendapat bahwa seluruh kekuatan reformasi sejati memiliki
tanggungjawab moral untuk mengingatkan Pemerintah dan semua komponen bangsa untuk kembali pada rel
tuntutan reformasi yaitu demokratisasi di semua aspek kehidupan. Warisan kekejaman anti demokrasi
dari rezim Suharto harus diakhiri. Korban-korban kekejaman dan kebiadaban rezim orde baru harus
dipulihkan hak-haknya. Hak-hak sipil dan politik mereka harus dipulihkan. Bahkan korban-korban ini,
dalam masyarakat beradab yang berperikemanusiaan, patut memperoleh kompensasi atas kerugian
materiil dan moril yang diderita mereka dan keluarga mereka selama berkuasanya rezim otoriter Suharto.
Rekonsiliasi nasional cukup santer disuarakan oleh berbagai pihak,
termasuk Gus Dur sejak sebelum beliau menjadi Presiden. KAP T/N sendiri sudah sejak awal era transisi
menuju reformasi mengangkat tema rekonsiliasi nasional. Tetapi rekonsiliasi nasional akan menjadi
retorika semata bila tidak didahului dengan langkah-langkah politik dan hukum yang memadai.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut diatas maka diskusi publik kita hari ini
diharapkan dapat menggugah Pemerintah untuk:
Segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk rehabilitasi hak-hak sipil dan politik
maupun harkat dan martabat korban-korban politik rezim Orde baru.
Selain itu kami serukan agar Pemerintah:
- Segera menindaklanjuti kebijakan Presiden Gus Dur
untuk memulihkan hak kewarganegaraan korban-korban politik orde Baru yang terpaksa bermukim di
luar negeri hingga hari ini.
- Mengambil langkah-langkah konkrit untuk investigasi dan klarifikasi
kejahatan-kejahatanpolitik dan kemanusiaan yang dilakukan oleh mantan Presiden Suharto dan kroninya.
- Mengungkapkan dengan jujur dan transparan korban-korban penculikan
pihak aparat keamanan yang hingga kini tidak jelas keberadaannya.
- Hentikan sandiwara politik dan peradilan dalam mengadili mantan Presiden Suharto.
Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan
lah yang lebih penting untuk diadili walaupun kejahatan ekonomi (KKN) juga patut diadili.
- Mengembalikan TNI dan Polri pada fungsinya di bidang hankam dan tibmas.
Jangan terus membebani TNI dan Polri dengan tugas-tugas sosial politik yang sudah terbukti mengganggu
fungsi utama mereka.
- Mengakhiri tindakan-tindakan kekerasan yang
terus marak di berbagai daerah, khususnya di Aceh, Maluku dan Maluku Utara maupun Sulawesi. Basmilah
premanisme dari Bumi Pertiwi.
- Menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu dan menciptakan suasana
hidup bermasyarakat yang demokratis.
Hanya dengan demikianlah martabat bangsa kita dapat dipulihkan dan kerukunan hidup
masyarakat yang majemuk ini dapat berjalan.
Jakarta, 1 September 2000