Harapan rakyat Indonesia pada Anda untuk memimpin bangsa ini
menuju Era Baru luar biasa tingginya ketika Anda terpilih secara demokratis oleh
MPR tanggal 20 Oktober 1999 untuk menjadi Presiden. Pada kesempatan ini kami
ingin mengingatkan Anda mengenai harapan rakyat tersebut yang antara lain
disampaikan oleh Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol (KAP T/N) dalam
pernyataan ucapan selamat tanggal 20 Oktober 1999 yang antara lain menyatakan:
"Kami harapkan bahwa dengan terpilihnya Anda sebagai Presiden ke-4 Indonesia
benar-benar akan membawa bangsa ini menuju Era Baru kehidupan berbangsa
dan bernegara dimana seluruh warga negara yang majemuk dari berbagai aspek
suku, etnik, agama dan kepercayaan dalam masyarakat kita ini dapat
hidup dalam ketentraman, kerukunan dan kedamaian, dimana hukum dan hak asasi
manusia dihormati dan dijunjung tinggi, dimana demokrasi benar-benar
ditegakkan.
Kepercayaan dan kehormatan rakyat kepada Anda ini sekaligus
juga merupakan beban dan tanggungjawab yang berat, terutama karena selama 34
tahun ini bangsa kita telah dihancurkan martabat dan moralitasnya oleh rezim
Orde Baru Suharto dan Habibie. Kami sadari bahwa beban dan tanggungjawab ini
membutuhkan waktu untuk ditanggulangi. Namun langkah-langkah untuk itu perlu
segera diambil, karena waktu berjalan cukup cepat, sehingga kita sebagai bangsa
dapat melangkah dengan penuh keyakinan akan dapat mengembalikan harga diri
dan martabat kita dalam arena pergaulan internasional. Salah satu PR
penting dalam kaitan ini adalah agenda Rekonsiliasi Nasional yang untuk
itu menurut hemat kami harus dituntaskan masalah tapol/napol warisan rezim yang
lalu. Penyelesaian masalah tapol/napol yang kami maksudkan disini bukan saja
pembebasan para tapol/napol dari penjara melainkan yang lebih hakiki lagi adalah
mengembalikan harkat dan martabat mereka sebagai warga negara Indonesia yang
memiliki persamaan hak dan kewajiban di Bumi Pertiwi ini. Hak sipil dan
politik semua mantan tapol/napol harus dipulihkan. Harta benda mereka yang
dirampas harus dikembalikan. Pendek kata, kami sangat mengharapkan bahwa di
bawah kepemimpinan Anda kebanggaan kita sebagai bangsa besar yang beradab dapat
dipulihkan. Untuk itu rasa dan semangat persaudaraan harus dipulihkan. Mereka
yang menciptakan rasa permusuhan dan bahkan kerusuhan antar sesama bangsa harus
ditindak tegas. Supremasi hukum benar-benar harus mendapatkan perhatian
serius".
Kini kita berada pada bulan Oktober 2000 yang berarti sudah
satu tahun Anda menjadi Presiden ke-4 RI. Banyak perubahan sudah terjadi selama
setahun ini dalam kehidupan sosial politik. Perubahan yang paling menyolok
adalah kebebasan berekspresi yang nyaris tanpa rambu-rambu (moral dan etika).
Misalnya Anda dihujat habis-habisan dari segala penjuru, baik hujatan yang masuk
akal maupun yang tidak berakal sehat. Di era Orde Baru Suharto hal seperti ini
adalah tabu berat. Jangankan dihujat, dianggap dihujat saja pintu penjara akan
terbuka lebar bagi yang dianggap menghujat itu.
Ada 2 hal yang ingin kami angkat dalam surat ini yang kami
mohon Anda menanggapi secara serius. Dua hal inipun bukan barang baru karena
sudah termuat dalam surat KAP T/N tersebut di atas dan sudah berkali-kali pula
kami angkat dalam berbagai forum.
Pertama, penuntasan masalah tapol/napol. Kami harap Anda
tidak sependapat dengan segelintir masyarakat kita, termasuk sebagian pejabat
negara dan politisi yang menganggap masalah tapol/napol sudah selesai karena
semua tapol/napol korban Orde Baru sudah dibebaskan. Pembebasan dari penjara
adalah langkah awal yang penting. Akan tetapi menurut hemat kami langkah-langkah
berikutnya untuk menuntaskan masalah tapol/napol untuk menyembuhkan luka sejarah
adalah jauh lebih penting kalau memang rekonsiliasi nasional dianggap penting
dan bukan sekedar retorika basa basi. PR penting dalam konteks ini adalah
:
Pemulihan hak-hak sipil dan politik mantan tapol/napol secara utuh dan
tanpa diskriminasi, khususnya terhadap tapol/napol kasus 1965, baik yang
dituduh maupun yang sekedar diindikasikan. Jauh lebih banyak jumlah orang yang
diindikasikan ketimbang yang dituduh. Tetapi semuanya menjadi korban yang
tidak berdaya dari rezim Suharto.
Rehabilitasi hak-hak perdata mereka, termasuk dan terutama hak pensiun
karena uang pensiun itu adalah tabungan mereka sendiri untuk hari tuanya, dan
hak veteran yang merupakan bukti historis keterlibatan mereka sebagai pelaku
sejarah dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
Penuntasan klarifikasi kasus-kasus politik rezim Orde baru. Beberapa kasus
yang kini sedang dalam proses klarifikasi seperti kasus Priok dan kasus Sabtu
Kelabu 27 Juli 1996 adalah karena tuntutan keras kelompok-kelompok korban yang
bersangkutan yang memiliki akses kuat di podium legislatif dan eksekutif.
Seharusnya Pemerintahan rezim transisi inilah yang mengambil prakarsa untuk
klarifikasi semua kasus politik era Orde Baru itu.
"Renaturalisasi" korban-korban politik Orde Baru yang terpaksa bermukim di
luar negeri selama lebih dari 30 tahun sebagai orang-orang stateless atau
terpaksa mengambil kewarganegaraan negara tuan rumah agar bisa hidup. Harkat
dan martabat mereka sebagai orang Indonesia harus segera dipulihkan.
Penyelesaian masalah Rehabilitasi dan "Renaturalisasi"
korban-korban politik rezim Orde Baru ini terbentur pada ketidakseriusan
Pemerintah dalam penanganannya. Pemerintah nampak enggan menerbitkan perangkat
hukum (entah Keppres atau Peraturan Pemerintah) sebagai landasan legal untuk
penyelesaian hal-hal tersebut di atas. Menteri Kehakiman dan HAM barangkali
sudah bosan dengan tuntutan-tuntutan yang berkali-kali kami alamatkan kepadanya.
Tuntutan pencabutan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang
menciptakan stigmatisasi dalam masyarakat seperti TAP MPRS 25/1966, Inmendagri
No. 32/1981 juga belum digubris Pemerintah.
Kami minta Presiden menginstruksikan pembantu-pembantunya,
Menkeh dan HAM, Mendagri dll untuk secara serius segera menangani hal ini.
Kedua, penegakan supremasi hukum. Persoalan-persoalan
tersebut di atas adalah persoalan politik dan hukum yang bisa ditangani hanya
apabila ada kemauan dan keputusan politik Pemerintah.
Penegakan supremasi hukum sangat penting untuk memulihkan citra
dan martabat bangsa dan sekaligus juga mengangkat citra dan martabat Pemerintah
di mata rakyat Indonesia sendiri maupun masyarakat internasional.
Hukum harus ditegakkan indiskriminatif karena sebagaimana semua
insan sama dan sederajat di hadapan Tuhan, semua orang sama dan sederajat di
hadapan hukum.
Proses hukum terhadap mantan Presiden Suharto dan keluarga
serta kroninya nampak sangat diistimewakan. Padahal dalam perkara-perkara yang
sedang digelar di Jakarta ini jelas terbukti dengan sangat meyakinkan bahwa
Suharto dan Hutomo "Tommy" Mandala Putra adalah maling-maling kakap yang telah
merugikan negara miliaran rupiah dan harus segera menjalani hukuman. Hakim dan
jaksa seharusnya bisa menghadirkan Suharto di persidangan. Tommy Suharto
seharusnya segera dimasukkan ke penjara Cipinang setelah vonis kasasi MA turun.
Tetapi fakta berkata lain.
Tindakan main hakim sendiri yang marak dalam masyarakat dengan
main bakar dan bantai terhadap maling yang tertangkap ataupun orang yang
dicurigai sebagai maling adalah ekspresi dari ketidakpercayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum kita. Pada sisi lain Tommy Suharto yang sudah
terbukti sebagai maling besar dan sudah divonis belum juga dijebloskan ke
penjara. Bahkan dia minta grasi pada Presiden.
Adalah penghinaan yang sangat memalukan bagi rakyat Indonesia,
bagi Pemerintah maupun bagi hukum Indonesia sendiri bila Presiden mengabulkan
permohonan grasi Tommy Suharto ini. Oleh karena itu demi rasa keadilan rakyat
dan penegakan supremasi hukum kami minta agar Anda segera menolak permohonan
grasi Tommy Suharto itu.
Kami sarankan Anda, Presiden, untuk mengambil keputusan tegas
bagi penegakan hukum di negeri ini, bagi demokratisasi kehidupan bermasyarakat
bangsa ini. Kalau perlu, bentuklah Komite atau Komisi dengan keanggotaan yang
mengikutsertakan LSM-LSM yang sudah terbukti memiliki integritas dan kepedulian
yang tinggi bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di negeri ini, untuk
membantu Anda. Opsi ini kami ketengahkan karena salah satu hambatan besar dalam
proses demokratisasi dan penegakan hukum di negeri ini saat ini adalah
aparat-aparat birokrasi sendiri yang lebih dari 90 % adalah aparat Orde Baru
Suharto yang mendambakan dan berusaha mengembalikan kekuasaan status
quo.